Repelita Jakarta - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies), Anthony Budiawan, mengkritik keras langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2024-2029 yang menetapkan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto sebagai tersangka. Anthony menilai langkah ini janggal, tidak masuk akal, dan penuh dengan nuansa politis.
KPK periode 2024-2029 yang baru dilantik pada 16 Desember 2024 oleh Presiden Joko Widodo disebut Anthony sebagai "produk Jokowi". Ia berpendapat pembentukan KPK ini melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK), karena Panitia Seleksi (Pansel) KPK untuk periode ini dibentuk oleh Presiden Joko Widodo, padahal MK telah memutuskan bahwa presiden hanya dapat membentuk Pansel KPK sekali dalam satu masa jabatan. Jokowi sebelumnya sudah membentuk Pansel KPK untuk periode 2019-2024, sehingga pembentukan Pansel baru dinilai ilegal.
Menurut Anthony, keberadaan KPK periode ini diduga memiliki dua misi utama, yakni melindungi kasus-kasus dugaan korupsi yang melibatkan Jokowi dan keluarganya, serta menyerang lawan politik Jokowi. Penetapan Hasto sebagai tersangka dinilai sebagai langkah untuk mendiskreditkan PDIP, yang kini berseberangan dengan Jokowi, sekaligus menciptakan persepsi negatif terhadap Prabowo Subianto.
“KPK produk Jokowi” pimpinan Setyo Budiyanto langsung mengambil langkah kontroversial dengan menetapkan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka kasus suap Harun Masiku kepada eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Kasus ini adalah kasus lama yang terjadi pada 2019. Ketua KPK berdalih ada bukti baru yang ditemukan sehingga menetapkan Hasto sebagai tersangka.
Namun, menurut Anthony, tuduhan ini tidak masuk akal. Ia mempertanyakan motif Hasto dalam kasus ini. “Biasanya, pihak yang menyuap memiliki motif untuk mendapatkan manfaat tertentu. Dalam hal ini, manfaat apa yang didapat Hasto dari meloloskan Harun Masiku menjadi anggota DPR? Hampir tidak ada,” ujar Anthony.
Ia juga menilai tuduhan bahwa sebagian uang suap kepada Wahyu Setiawan berasal dari Hasto sebagai sesuatu yang tidak logis. “Untuk apa Hasto mengorbankan uang pribadinya untuk meloloskan Harun Masiku? Dengan posisinya sebagai Sekjen PDIP, Hasto seharusnya menjadi pihak yang disuap, bukan yang memberikan uang,” tegasnya.
Anthony mengungkapkan bahwa kasus Harun Masiku dengan nilai suap Rp1,5 miliar sebenarnya kecil jika dibandingkan dengan berbagai kasus korupsi besar lainnya. Ia menyoroti banyaknya kasus besar yang hingga kini belum ditangani oleh KPK, seperti dugaan korupsi keluarga Jokowi, termasuk Kaesang, Gibran, dan Bobby Nasution, serta dugaan gratifikasi yang melibatkan mereka.
Beberapa kasus besar lainnya yang disebut Anthony adalah dugaan korupsi BTS Kominfo dengan kerugian negara Rp8 triliun, skandal Goto (Gojek Tokopedia) yang merugikan negara Rp6,4 triliun, dan kasus dugaan gratifikasi dari perusahaan yang terlibat kebakaran hutan yang dilaporkan oleh Ubaidilah Badrun. Ia juga menyebut kasus jet pribadi Kaesang dan tambang nikel "Blok Medan" yang melibatkan Bobby Nasution dan Kahiyang Ayu.
“Kasus-kasus besar seperti ini seharusnya menjadi prioritas KPK, bukan kasus kecil seperti Harun Masiku yang tidak melibatkan kerugian negara,” ujar Anthony.
Anthony menegaskan bahwa masyarakat mendukung penuh pemberantasan korupsi yang dilakukan secara profesional dan tanpa tebang pilih. Ia memperingatkan KPK untuk tidak menjadi alat politik yang digunakan untuk menghantam lawan dan melindungi kroni. Menurutnya, tindakan KPK yang tidak adil dapat memicu perpecahan bangsa dan konflik sosial.
“Masyarakat mengawasi perilaku KPK. Jangan sampai KPK menjadi pintu gerbang pemecah belah bangsa, yang bisa berakhir pada konflik sosial,” pungkas Anthony.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok