Jakarta, 9 Desember 2024 – Publik dikejutkan dengan vonis bebas yang dijatuhkan kepada Ryan Susanto alias Afung oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pangkalpinang. Vonis ini terkait dengan kasus dugaan tindak pidana korupsi pertambangan di kawasan Hutan Lindung Pantai Bubus, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung.
Kasus ini menimbulkan preseden penting bagi kasus serupa yang melibatkan PT Timah Tbk, yang diduga merugikan negara hingga Rp 271 triliun. Saat ini, kasus tersebut sedang berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Dalam sidang putusan pada Selasa, 3 Desember 2024, Ketua Majelis Hakim Dewi Sulistiarini menyatakan bahwa Ryan tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi sesuai dakwaan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum. Hakim juga menegaskan bahwa kasus ini seharusnya masuk ke ranah hukum lingkungan hidup.
“Kasus ini bukan tindak pidana korupsi, melainkan pidana lingkungan hidup terkait penambangan tanpa izin di kawasan hutan lindung. Penuntut umum seharusnya mendakwa berdasarkan Undang-Undang Lingkungan Hidup,” ucap Dewi.
Hakim mempertimbangkan kondisi masyarakat Bangka Belitung, yang bergantung pada sektor pertambangan timah sebagai sumber penghidupan. Penutupan smelter akibat proses hukum dalam kasus tata niaga timah telah berdampak buruk pada perekonomian lokal, mengakibatkan banyak keluarga kehilangan pekerjaan, serta meningkatnya angka pengangguran, kemiskinan, dan kejahatan.
Para pengamat hukum melihat bahwa vonis bebas Ryan dapat mempengaruhi arah putusan dalam kasus Tipikor tata niaga timah di Jakarta. Ini berkaitan dengan penentuan apakah kerusakan lingkungan dapat dijadikan dasar dakwaan korupsi. Keputusan ini membuka diskusi mengenai pendekatan hukum yang mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi, bukan hanya aspek formal.
Prof. Romli Atmasasmita, salah satu perumus Undang-Undang Tipikor Nomor 31 Tahun 1999, menegaskan bahwa kerugian negara yang dihitung harus bersifat konkret dan dapat ditentukan oleh lembaga yang berwenang, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Jika kerugian hanya berdasarkan perkiraan, itu tidak dapat dijadikan dasar dalam memutus perkara Tipikor,” ujar Prof. Romli. Dia menambahkan bahwa BPK memiliki dasar hukum untuk menghitung kerugian negara, sedangkan BPKP hanya bertugas sebagai auditor internal.
Prof. Dr. Ir Abrar Saleng, Guru Besar Hukum Pertambangan Universitas Hasanuddin, menyatakan bahwa pelanggaran dalam perusahaan tambang biasanya diselesaikan secara administrasi, bukan melalui jalur pidana. Jika perusahaan memiliki izin usaha penambangan (IUP), sanksi administrasi berlaku, sedangkan penambangan ilegal dikenakan sanksi pidana.
“Yang berhak melakukan penyidikan terhadap tindak pidana pertambangan adalah PPNS dari Kementerian ESDM dan kepolisian. Selain itu, lembaga lain tidak dapat melakukan penyidikan karena harus memiliki pendidikan khusus,” ujarnya.
Sementara itu, Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum, dari Universitas Sumatra Utara, menegaskan bahwa UU Tipikor tidak bisa digunakan secara sembarangan untuk menjerat semua kerugian negara. Penggunaan kerugian lingkungan sebagai dasar hukum harus melalui proses analisis yang mendalam.
“Penghitungan kerugian keuangan negara harus dilihat secara spesifik dan sistematis. Tidak semua hal yang merugikan negara dapat digeneralisasi sebagai Tipikor,” katanya.
Para pakar hukum sepakat bahwa dalam penanganan kasus ini, pendekatan hukum tidak hanya harus mempertimbangkan peraturan yang berlaku, tetapi juga faktor sosial dan ekonomi yang berdampak langsung pada masyarakat lokal. Ini menegaskan pentingnya independensi hakim dalam memutuskan perkara tanpa tekanan eksternal.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok