Repelita, Jakarta - Foto sebuah surat dengan kop Kejaksaan Agung kepada Kepala Desa Kohod Tangerang beredar di media sosial. Dalam surat tersebut, tertulis permintaan data atau dokumen penerbitan hak guna bangunan (HGB) sertifikat hak milik (SHM) yang terbit di kawasan perairan laut Kohod Tangerang pada periode 2023-2024.
Permintaan itu diduga berkaitan dengan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi atas penerbitan HGB dan SHM yang kini menjadi sorotan publik setelah kasus pagar laut dipermasalahkan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, mengatakan pihaknya belum dapat memastikan apakah surat itu resmi dari Kejaksaan Agung. "Masih belum dapat informasi dari penyidik, nantilah kalau udah masuk," ujarnya.
Harli juga menegaskan bahwa jika surat itu benar berasal dari Kejaksaan Agung, seharusnya bersifat rahasia karena masih dalam proses penyelidikan. Ia menambahkan bahwa kejaksaan akan bertindak proaktif dalam kasus ini, dengan penyidik yang masih mengumpulkan bahan berupa keterangan untuk menyelidiki unsur pidana terkait penerbitan HGB dan SHM atas laut tersebut.
Kasus ini semakin menyita perhatian publik sebab sertifikat HGB maupun SHM di kawasan laut seharusnya tidak bisa diterbitkan. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah membenarkan adanya penerbitan 263 HGB dan SHM di atas laut dekat pagar laut Tangerang yang tengah dipermasalahkan. Sertifikat tersebut diterbitkan pada tahun 2023.
Sebanyak 234 bidang HGB dimiliki oleh PT Intan Agung Makmur, 20 bidang dimiliki PT Cahaya Inti Sentosa, dan 9 bidang lainnya dimiliki oleh perseorangan. Polemik muncul karena adanya perbedaan data antara ATR/BPN dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid sebelumnya menyatakan bahwa wilayah itu pernah diterbitkan sertifikat pada tahun 1982 menurut dokumen ATR/BPN. Namun, KKP menyatakan bahwa sejak dahulu wilayah tersebut adalah laut. Setelah meninjau lokasi, Nusron mendapati HGB dan SHM itu memang diterbitkan di atas laut. Jika sebelumnya memang adalah daratan, Nusron menyatakan tanah tersebut termasuk tanah musnah, sehingga hak apapun yang melekat di atas tanah tersebut hilang.
ATR/BPN pun memutuskan untuk membatalkan 50 HGB yang terbit. Namun, nasib HGB lainnya belum jelas apakah akan dibatalkan juga.
Pencabutan HGB tersebut tidak menyelesaikan persoalan, sebab masalah utamanya adalah bagaimana bisa sertifikat atas laut itu terbit. Dalam proses penerbitan HGB dan SHM, petugas pengukur seharusnya melakukan peninjauan lokasi. Harli menjelaskan bahwa meskipun Kejagung ikut memantau dugaan korupsi terkait penerbitan HGB dan SHM di Desa Kohod Tangerang, belum tentu tindakan pidana akan ditemukan. "Bisa jadi soal administrasi," ujar Harli. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok