Repelita Jakarta - Indonesia resmi bergabung dengan aliansi BRICS (Brazil, Russia, India, China, South Africa), langkah yang memunculkan berbagai pertanyaan mendalam tentang kesesuaian keputusan tersebut dengan prinsip dasar negara Indonesia. Dalam tulisan ini, Salamuddin Daeng mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan konstitusional yang harus dijawab terkait keanggotaan Indonesia dalam BRICS. Apakah keputusan ini sesuai dengan pembukaan UUD 1945? Apakah sejalan dengan Pancasila? Dan yang lebih penting, apakah ini mencerminkan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, serta implementasi politik Non Blok yang sudah menjadi garis kebijakan negara sejak awal kemerdekaan?
Sebagian pihak mungkin akan membenarkan keputusan ini dengan alasan bahwa BRICS hanya sebuah kerjasama ekonomi atau perdagangan, yang tidak ada kaitannya dengan dinamika politik luar negeri yang lebih besar. Namun, ada pandangan yang lebih kritis, yang menilai bahwa BRICS bukan sekadar forum kerjasama ekonomi, melainkan juga merupakan sebuah aliansi untuk memperebutkan otoritas atas keuangan global. Hal ini berpotensi memicu ketegangan internasional, apalagi bila kita melihat bahwa BRICS mencoba menanggalkan dominasi dolar AS dan berusaha untuk menciptakan mata uang bersama yang digunakan dalam perdagangan antar negara anggota, bahkan berharap untuk diakui oleh negara-negara non-anggota.
Pertanyaan besar yang muncul adalah, apakah BRICS hanya sebuah bentuk diplomasi ekonomi yang tidak akan berujung pada ketegangan geopolitik atau bahkan perang? Salamuddin Daeng menyoroti bahwa BRICS, meski mengklaim sebagai kerjasama ekonomi, sesungguhnya berfokus pada kontrol atas sistem keuangan global. Negara-negara anggota BRICS, terutama Rusia dengan kekayaan gas alamnya, berusaha menciptakan sistem keuangan yang berbasis pada komoditas gas, yang pada dasarnya memiliki tujuan yang sama dengan sistem petro dolar yang dijalankan oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Hal ini dapat memperburuk ketegangan internasional, apalagi saat ini, baik blok BRICS maupun petro dolar tengah saling memperebutkan kekuasaan finansial global.
Dengan begitu, Indonesia harus berhati-hati dalam mengambil langkah di tengah persaingan sengit ini. BRICS, menurut Salamuddin Daeng, sesungguhnya merupakan bagian dari upaya negara-negara besar untuk melepaskan diri dari cengkeraman kapitalisme internasional yang berfokus pada dominasi dolar AS. Krisis kapitalisme yang melanda dunia ini memunculkan kebutuhan untuk menemukan sandaran baru dalam sistem keuangan global, namun dengan cara yang berpotensi membawa dampak buruk bagi negara-negara yang tidak terlibat dalam konflik ini. Dalam konteks ini, Indonesia harus tetap teguh pada prinsip politik luar negeri bebas aktif yang menghindari keterlibatan dalam perang kapitalis-imperialis.
Indonesia telah menetapkan dirinya sebagai bagian dari gerakan Non Blok, yang sejak awal mengusung cita-cita kemerdekaan untuk segala bangsa. Prinsip ini tercermin dalam semangat Bandung Spirit yang dicanangkan pada Konferensi Asia Afrika tahun 1955, yang diresmikan melalui Dasasila Bandung. Bandung Spirit, yang juga didorong oleh Prof. Samir Amin pada tahun 2010, menawarkan solusi atas krisis kapitalisme dengan menekankan pentingnya perdamaian abadi dan keadilan sosial. Indonesia harus terus berpegang pada cita-cita ini, menghindari terjerumus dalam dinamika konflik internasional yang dapat mengancam stabilitas global.
Dengan menegaskan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan bahwa penjajahan harus dihapuskan, Indonesia memiliki jalur politik luar negeri yang jelas, yakni tidak terlibat dalam dominasi atau eksploitasi bangsa lain. Inilah jalan untuk mewujudkan perdamaian dunia yang sesungguhnya, sesuai dengan tujuan awal berdirinya bangsa Indonesia dan dunia yang adil dan damai. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok