Repelita, Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah, menyoroti banyaknya fenomena pagar laut belakangan ini, salah satunya yang ditemukan di Tangerang, Banten. Berdasarkan temuan, terdapat 263 bidang pagar laut yang memiliki Hak Guna Bangunan (HGB).
Sertifikat pagar laut tersebut dinilai bermasalah karena berpotensi melanggar beberapa peraturan, seperti UU Tentang KUHP, UU Tentang Pokok Agraria, UU Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Tentang Kelautan, UU Tentang Sumber Daya Air, UU Tentang Ciptakerja, dan UU Tentang Tindak Pidana Korupsi.
Melihat potensi pelanggaran tersebut, beberapa pakar hukum, akademisi, aktivis lingkungan, serta anti-korupsi mempertanyakan mengapa pengungkapan kasus pagar laut yang semakin terang belum dapat mengungkapkan nama-nama tersangka atau terduga pelaku pelanggaran.
Abdullah, yang akrab disapa Abduh, mengingatkan instansi yang berwenang untuk segera memproses penyidikan dan penyelidikan terkait pagar laut ini. Langkah tersebut diharapkan dapat mengungkap pelanggar administrasi maupun pidana ke publik.
"Ingat, Indonesia ini negara hukum, bukan negara kekuasaan. Para pakar dan berbagai lapisan masyarakat yang mempertanyakan penegakan hukum kepada tersangka atau yang diduga bersalah adalah peringatan dini dari mereka terkait kepercayaan pada penegakan hukum," ujar Abduh, Rabu (29/1).
Penegakan hukum dengan mengumumkan tersangka atau terduga pelaku menjadi sangat penting setelah kerugian yang ditimbulkan, seperti kerusakan lingkungan laut dan gangguan terhadap mata pencaharian nelayan.
Abdullah, yang merupakan anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), mengungkapkan bahwa kerugian dari fenomena pagar laut ini menurut Ombudsman RI mencapai Rp 116,91 miliar per tahun. Rinciannya mencakup penurunan pendapatan nelayan sebesar Rp 93,31 miliar, peningkatan biaya operasional sebesar Rp 18,60 miliar, dan kerusakan ekosistem laut sebesar Rp 5 miliar per tahun.
Ditambah lagi, ada warga Desa Kohod yang melaporkan dugaan pencatutan namanya dalam sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
“Terkait data-data pelanggaran dan kerugian yang ditimbulkan akibat pagar laut yang dialami negara dan nelayan atau warga Desa Kohod, saya khawatir banyak pihak yang menilai negara kalah dengan oligarki. Ini akan memunculkan stigma bahwa jika memiliki kuasa politik dan bisnis, melanggar aturan akan aman saja. Tidak dapat dibenarkan hal ini,” tegas Abduh.
Fenomena oligarki yang mengangkangi hukum, menurut Legislator dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah VI ini, sudah banyak diketahui masyarakat. Biasanya, akan ada sekelompok kecil yang disebut buzzer yang bertugas membenarkan dengan argumen tak logis dan tak sesuai fakta, serta menciptakan polarisasi di masyarakat.
“Buzzer pembela oligarki dalam kasus pagar laut sudah terdeteksi netizen di berbagai platform media sosial. Tidak ada gunanya lagi penggiringan opini untuk membenarkan pelanggaran hukum. Saya minta pihak-pihak yang terlibat dalam operasi ini berhenti,” tegas Abduh.
Lebih lanjut, Abduh meminta semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam kasus pagar laut untuk menegakkan hukum dan mendukung Presiden Prabowo Subianto.
“Kasus pagar laut harus diusut tuntas dengan kolaborasi semua pihak. Ini sebagai bentuk dukungan terhadap misi bidang hukum Presiden Prabowo, yaitu memperkuat reformasi politik, hukum dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi,” tutup Abduh. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok