Repelita Jakarta - Danang Girindrawardana, Wakil Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), mengingatkan janji kampanye Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang berkomitmen membuka 19 juta lapangan kerja. Namun, setelah 100 hari pemerintahan, Danang menilai janji tersebut belum terealisasi. Ia menyebut, penguatan industri dalam negeri, khususnya sektor padat karya, seharusnya menjadi kunci untuk mencapainya. Namun, kondisi dunia usaha belum membaik.
Kontribusi sektor industri terhadap produk domestik bruto (PDB) semakin menurun. Satu dekade lalu, sektor ini menyumbang sekitar 21 persen terhadap PDB, namun kini hanya sekitar 18 persen. Penurunan ini mencerminkan menurunnya kapasitas industri Indonesia. Permintaan dalam negeri pun masih lemah, diimbangi dengan tingginya impor barang dari China yang menambah tekanan pada usaha domestik.
Pemerintahan Prabowo-Gibran juga dianggap belum menunjukkan arah kebijakan yang jelas dalam mendorong investasi. Tanpa adanya peningkatan investasi yang signifikan, Danang menilai cita-cita menciptakan belasan juta lapangan kerja baru hanya akan tetap menjadi janji politik.
Selain itu, pemerintahan kini sedang fokus pada penyusunan nomenklatur kabinet, mengalihkan perhatian dari kebijakan ekonomi yang lebih mendesak. “Pemerintah masih sibuk dengan mereformasi dirinya sendiri, butuh waktu untuk menilai capaian dalam 100 hari pertama,” kata Danang.
Salah satu sorotan adalah tata kelola anggaran yang makin tertekan. Dana yang dibutuhkan untuk program-program prioritas seperti makan bergizi gratis dan swasembada pangan sangat besar. Namun, untuk mencapai target-target tersebut, Prabowo menambah jumlah kementerian dalam kabinetnya menjadi 48, yang diperkirakan dapat membengkakkan anggaran hingga Rp1,95 triliun.
Tak hanya itu, para menteri juga mengajukan tambahan anggaran yang cukup besar. Misalnya, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait yang mengusulkan dana Rp48 triliun untuk mendukung pembangunan 3 juta rumah. Begitu pula dengan Menteri Pekerjaan Umum, Dody Hanggodo, yang meminta dana Rp60 triliun untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara.
Meskipun Prabowo telah meminta penghematan belanja, dengan arahan pemangkasan perjalanan dinas hingga 50 persen, serta instruksi penghematan anggaran Rp306,6 triliun, pengelolaan anggaran di masa pemerintahan ini masih mendapat banyak kritikan. Peningkatan belanja pegawai yang cukup besar juga memberi dampak pada ruang fiskal yang semakin terbatas untuk sektor lain.
Sejumlah ekonom menilai bahwa anggaran yang terus membengkak dapat memperburuk defisit APBN. M Rizal Taufikurahman, Kepala Center of Macroeconomics and Finance Indef, mengingatkan bahwa pemerintahan harus bijak dalam mengelola anggaran, terutama dalam mewujudkan program-program prioritas tanpa menambah beban keuangan negara.
Namun, ada sisi positif dari kebijakan ini. Pengelolaan anggaran yang langsung berada di bawah koordinasi Presiden Prabowo membuat eksekusi kebijakan menjadi lebih cepat. Meski begitu, risiko sentralisasi dalam pengelolaan anggaran berpotensi mengurangi independensi kementerian keuangan.
Dengan situasi ini, para pengamat berharap agar pemerintahan Prabowo lebih fokus pada pengelolaan ekonomi yang berorientasi pada hasil konkret. Agar janji politik untuk menciptakan lapangan kerja dapat tercapai, perbaikan dalam kebijakan fiskal dan investasi menjadi langkah yang tak bisa ditunda. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok