Repelita Tambun Selatan - Developer dan penghuni Cluster Setia Mekar Residence 2, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, mempertanyakan tidak dilibatkannya pejabat dari Kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Bekasi dalam proses penggusuran lahan.
Penggusuran ini dilakukan berdasarkan eksekusi yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Cikarang Kelas II, yang mengosongkan 27 bidang tanah berupa rumah dan ruko di klaster tersebut pada Kamis (30/1/2025).
Abdul Bari, perwakilan developer sekaligus penghuni klaster, menekankan pentingnya peran BPN dalam proses eksekusi untuk mengetahui batas tanah yang terlibat.
"Ketiadaan BPN dalam pelaksanaan eksekusi menjadi tanda tanya besar kepada pihak yang terkena dampak. Mana batas-batasnya yang menjadi titik obyek tanah yang akan dieksekusi," ujar Bari.
Bari juga menyoroti prosedur pelaksanaan eksekusi yang dianggap tidak sesuai.
"Eksekusi wajib dibacakan di atas tanah. Kalau kami bicara 704, maka berita acara eksekusi wajib dibacakan di atas tanah 704. Bicaranya 705, maka berita acara eksekusi wajib dibacakan di atas tanah 705. Kemarin enggak. Tidak (tidak dibacakan)," tegasnya.
Selain itu, Bari mempertanyakan tidak dilibatkannya Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (Distarkim) Kabupaten Bekasi dalam eksekusi tersebut.
Ia menegaskan bahwa pengadilan seharusnya melibatkan Distarkim sebagai pihak yang mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk klaster tersebut.
"Artinya, bangunan dan tanah yang berdiri di atas sertifikat 705 adalah bangunan dan tanah legal," imbuhnya.
Sebelumnya, sebanyak 14 penghuni Cluster Setia Mekar Residence 2 menghadapi ketidakpastian setelah Pengadilan Negeri Cikarang Kelas II mengosongkan lahan pada Kamis (30/1/2025).
Eksekusi ini merujuk pada putusan Pengadilan Negeri Bekasi dengan nomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS tanggal 25 Maret 1997, yang mencakup 27 bidang tanah seluas 3.100 meter persegi.
Langkah pengosongan ini menimbulkan kebingungan di kalangan penghuni, yang merasa dipaksa meninggalkan rumah meskipun memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM).
Persoalan ini diduga memiliki kaitan erat dengan praktik ilegal oleh makelar tanah sejak tahun 1990.
Menanggapi eksekusi ini, developer, warga, dan bank pemberi fasilitas KPR di klaster tersebut berencana untuk menggugat eksekusi yang telah dilakukan.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok