Repelita Jakarta - Isu mengenai ijazah mantan Presiden Jokowi kembali menjadi sorotan publik setelah pernyataan mengejutkan datang dari kalangan akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM).
Alih-alih memperjelas polemik yang telah bergulir sejak lama, pernyataan dari Prof. Dr. Markus Priyo Gunarto, seorang guru besar hukum pidana di UGM justru menambah keraguan.
Dalam sebuah kesempatan, Markus menyebut bahwa ijazah milik mantan presiden Jokowi pernah ada, namun kini tidak lagi berada dalam arsip resmi kampus.
Ia bahkan mengklaim bahwa dokumen tersebut telah dibuat ulang.
Pernyataan ini langsung menuai respons kritis dari berbagai pihak, termasuk ahli hukum dan aktivis masyarakat sipil.
“Pernyataan seperti itu bukan klarifikasi, tapi justru bentuk pembelokan substansi,” ujar Damai Hari Lubis, pengamat hukum pidana sekaligus aktivis kebebasan berpendapat.
Ia mempertanyakan keabsahan pernyataan tersebut dari perspektif hukum.
Menurutnya, dalam ranah pidana, pergantian dokumen resmi tidak bisa dilakukan tanpa prosedur hukum yang jelas dan bukti administrasi yang sah.
“Dalam hukum pidana, dokumen resmi tidak bisa sekadar ‘diganti’ tanpa prosedur. Jika memang hilang, mana bukti laporannya? Mana berita acara kehilangan atau verifikasi forensik atas dokumen pengganti itu," lanjut Damai.
Lebih lanjut, ia menyoroti sikap Markus yang dianggap lebih condong membela kekuasaan daripada menegakkan prinsip hukum.
“Narasi ini berbahaya. Ia bisa mengacaukan logika hukum masyarakat, seolah semua bisa dijustifikasi lewat tafsir pribadi guru besar, bukan lewat mekanisme ilmiah dan hukum yang ketat," tegasnya.
Ia juga mengingatkan agar UGM tetap memegang nilai-nilai transparansi dan akuntabilitas sebagai institusi pendidikan.
“Opini semacam ini justru memberi kesan bahwa kampus tunduk pada kuasa, bukan pada nurani akademik," tambah Damai.
Pandangan serupa juga disuarakan oleh Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), sebuah kelompok masyarakat sipil yang sejak 2022 aktif mempertanyakan keabsahan dokumen akademik Presiden Jokowi.
Menurut TPUA, klaim hilangnya ijazah yang kemudian diganti tanpa dasar yang meyakinkan justru memperkuat dugaan publik.
“Kalau memang hilang, mana arsip pembanding dari UGM? Kenapa tak ada pelibatan pusat studi forensik digital UGM untuk menelaah data digital yang sudah dipaparkan oleh pakar seperti Roy Suryo dan Rismon Sianipar?” ujar salah satu aktivis TPUA.
Kelompok ini menegaskan bahwa mereka telah melakukan berbagai upaya, baik secara hukum maupun non-hukum, termasuk melaporkan dugaan tersebut ke Mabes Polri.
Sebelumnya, Politikus PDIP, Ferdinand Hutahean, turut menyoroti polemik seputar keaslian ijazah Presiden ke-7 RI, Jokowi.
Ia menilai, isu tersebut seharusnya tidak perlu berlarut-larut jika disikapi secara terbuka.
Apalagi, baru-baru ini mantan dosen Universitas Mataram, Rismon Hasiholan Sianipar menantang Universitas Gajah Mada (UGM) untuk mengungkap data Kuliah Kerja Nyata (KKN) Jokowi.
"Polemik soal ijazah Jokowi ini kan sebetulnya hal mudah diselesaikan. Mengapa ini berlarut-larut, bertahun-tahun tidak tuntas?" ujar Ferdinand kepada fajar.co.id, Kamis (10/4/2025).
Dikatakan Ferdinand, penyelesaian mengenai isu keaslian ijazah Jokowi sangat mudah jika ada keinginan untuk mengakhiri.
"Tidak perlu harus si A membantah, teman inilah, inilah, semuanya kan membuat semakin membuat kontroversi di tengah publik," lanjutnya.
Ferdinand mengatakan bahwa apa yang dilakukan Rismon Sianipar merupakan bagian dari mencari kebenaran atas apa yang selama ini diperdebatkan.
"Karena bagaimanapun Jokowi pernah menjadi Presiden Indonesia 10 tahun. Artinya, syarat legal dia menjadi Presiden itu kan dipertanyakan publik sekarang soal ijazahnya dan juga penggunaan gelar," sebutnya.
Ditekankan Ferdinand, jika saja Jokowi menggunakan gelar yang tidak sesuai dengan ijazahnya, maka ia telah melakukan tindak pidana.
"Karena kalau penggunaan gelar tidak sesuai dengan ijazah, kan itu pidana sebetulnya. Kalau memang dia tidak insinyur tapi menggunakan insinyur, itu pidana," tegasnya. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok