Repelita, Jakarta - Mahkamah Agung membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgassus) untuk mengevaluasi secara menyeluruh integritas para hakim dan aparatur peradilan.
Langkah ini diambil menyusul penetapan tersangka terhadap sejumlah hakim dan panitera dalam kasus dugaan suap vonis lepas atau ontslag perkara korupsi ekspor minyak mentah atau CPO di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Juru Bicara MA, Yanto, mengatakan Satgassus akan memeriksa kedisiplinan, kinerja, serta kepatuhan para hakim terhadap kode etik dan pedoman perilaku.
“Badan Pengawasan Mahkamah Agung telah membentuk Satuan Tugas Khusus untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kedisiplinan, kinerja, dan kepatuhan hakim serta aparatur terhadap kode etik dan pedoman perilaku,” ujar Yanto di Gedung MA, Jakarta Pusat.
MA menegaskan bahwa hakim dan panitera yang terjerat kasus suap tersebut telah diberhentikan sementara.
“Hakim dan panitera yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan dilakukan penahanan akan diberhentikan sementara,” kata Yanto.
Jika nantinya para tersangka terbukti bersalah dan telah memiliki putusan berkekuatan hukum tetap, maka akan diberhentikan secara permanen.
“Jika telah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap, akan diberhentikan tetap,” tambahnya.
Kejaksaan Agung sebelumnya menetapkan tiga hakim sebagai tersangka dalam perkara ini. Mereka adalah Djumyanto selaku Ketua Majelis Hakim, serta dua anggota majelis, Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom.
Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, mengatakan ketiganya menerima uang untuk mengurus agar terdakwa korporasi divonis lepas.
Kasus bermula dari kesepakatan antara pengacara terdakwa, Ariyanto Bakri, dan panitera Wahyu Gunawan. Ariyanto menawarkan Rp20 miliar agar perkara diputus ontslag.
Wahyu lalu menyampaikan permintaan tersebut kepada M Arif Nuryanta, Wakil Ketua PN Jakarta Pusat saat itu. Arif malah meminta Rp60 miliar.
Setelah uang diserahkan, Arif mengumpulkan tiga hakim yang akan menangani perkara. Ia menyerahkan uang Rp4,5 miliar kepada Agam Syarif Baharuddin untuk dibagi rata.
Tak lama, Arif kembali menyerahkan uang Rp18 miliar kepada Djumyanto selaku Ketua Majelis. Uang itu kemudian dibagi: Agam menerima Rp4,5 miliar, Ali Muhtarom Rp5 miliar, dan Djumyanto Rp6 miliar.
“Ketiga hakim tersebut mengetahui uang tersebut diberikan agar perkara ini diputus ontslag,” kata Qohar.
Ketiganya dijerat dengan Pasal 12 huruf c juncto pasal 12B, jo pasal 6 ayat 2, jo pasal 18 UU 31/1999 tentang pemberantasan korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke(1) KUHP.
Selain mereka, Kejaksaan juga telah menetapkan empat tersangka lain, yakni M Arif Nuryanta (mantan Wakil Ketua PN Jakpus, kini Ketua PN Jaksel), Wahyu Gunawan (Panitera PN Jakut), serta dua pengacara, Marcella Santoso dan Ariyanto.
Qohar menyebut Arif menerima suap Rp60 miliar melalui Wahyu. Uang itu diberikan agar majelis hakim yang ditunjuk menjatuhkan putusan lepas.
“WG waktu itu panitera, orang kepercayaan dari MAN. Melalui dialah terjadi adanya kesepakatan itu dan kemudian ditunjuk tiga majelis hakim,” jelas Qohar.
Kasus ini memicu kemarahan publik. Banyak netizen mengecam bobroknya moral para penegak hukum.
“Ini bukan lagi oknum, tapi sistemnya yang rusak. Rp60 miliar untuk beli keadilan?” tulis akun @rakyatmarah.
“Kami rakyat kecil dihukum berat karena mencuri demi makan, mereka malah lepas setelah korupsi miliaran. Hukum benar-benar tajam ke bawah,” tulis akun @keadilansocial.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok