Repelita, Jakarta - Mahkamah Agung (MA) menyatakan siap meninjau kembali putusan lepas dalam kasus korupsi ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dengan terdakwa sejumlah korporasi, usai terungkap adanya suap terhadap hakim yang menangani perkara tersebut.
Juru Bicara MA, Yanto, menjelaskan bahwa pihaknya masih menanti berkas kasasi dari Pengadilan Tipikor Jakarta sebelum menangani perkara itu di tingkat kasasi.
“Putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat belum berkekuatan hukum tetap karena penuntut umum telah mengajukan kasasi pada 27 Maret 2025,” kata Yanto di Gedung MA, Jakarta Pusat.
Setelah berkas lengkap, MA akan memproses perkara secara elektronik dan menunjuk majelis hakim kasasi untuk menanganinya.
MA juga telah memberhentikan sementara hakim dan panitera yang ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan dalam perkara ini.
“Hakim dan panitera yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan dilakukan penahanan akan diberhentikan sementara,” jelas Yanto.
Jika nantinya para tersangka terbukti bersalah dan telah berkekuatan hukum tetap, mereka akan diberhentikan secara permanen.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan tiga hakim sebagai tersangka dalam kasus suap vonis lepas atau ontslag terhadap terdakwa korporasi dalam perkara korupsi ekspor CPO.
Ketiganya adalah Ketua Majelis Hakim Djuyamto serta dua hakim anggota, Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom. Mereka diduga menerima miliaran rupiah untuk memutus perkara dengan vonis bebas.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar mengatakan, perkara ini bermula dari pertemuan pengacara terdakwa, Ariyanto Bakri, dengan panitera Wahyu Gunawan untuk menyusun skenario vonis lepas.
Ariyanto menjanjikan uang Rp20 miliar, namun permintaan dari Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, M Arif Nuryanta, naik menjadi Rp60 miliar.
Setelah kesepakatan tercapai, uang dibagi dalam dua tahap kepada tiga hakim melalui Agam dan Djuyamto. Agam menerima Rp4,5 miliar, Ali Rp5 miliar, sementara Djuyamto Rp6 miliar.
“Ketiga hakim tersebut mengetahui bahwa uang itu diberikan agar perkara diputus ontslag,” ujar Qohar.
Ketiganya dijerat Pasal 12 huruf c juncto Pasal 12B dan pasal lainnya dalam UU Tipikor serta KUHP.
Selain ketiga hakim, Kejagung juga menetapkan empat tersangka lain, yaitu M Arif Nuryanta (Ketua PN Jaksel), Wahyu Gunawan (Panitera PN Jakut), dan dua pengacara yakni Marcella Santoso dan Ariyanto.
Arif diduga menerima Rp60 miliar melalui Wahyu Gunawan untuk mempengaruhi putusan perkara. Sebagai bagian dari skema, Arif menunjuk tiga hakim untuk memimpin sidang.
Para tersangka kini telah ditahan di Rutan KPK dan Rutan Salemba.
Berdasarkan laman Direktori Putusan MA, majelis hakim yang menangani perkara ini adalah Djuyamto, Agam, dan Ali, dengan Agnasia Marliana sebagai panitera pengganti.
Dalam sidang pada 19 Maret 2025, hakim menyatakan PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group terbukti melakukan perbuatan sesuai dakwaan JPU.
Namun, hakim menilai perbuatan itu bukan tindak pidana dan memutus ontslag. Korporasi dibebaskan dan seluruh haknya dipulihkan.
Putusan itu bertolak belakang dengan tuntutan JPU yang menuntut Wilmar membayar Rp11,8 triliun, Permata Hijau Rp937 miliar, dan Musim Mas Rp4,8 triliun.
Netizen pun bereaksi keras atas terkuaknya suap di balik vonis lepas tersebut.
“Kalau memang uang bisa beli keadilan, untuk apa ada hukum?” tulis akun @nur_rizka.
“Ini bukti bahwa uang bisa bikin perusahaan raksasa kebal hukum,” tambah akun @eko_journalist.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok