Repelita Jakarta – Negara-negara berkembang menghadapi tantangan berat pada tahun 2025 akibat lonjakan utang publik dan ketidakpastian perdagangan global yang meningkat.
Menurut laporan terbaru dari Dana Moneter Internasional (IMF), utang publik global diperkirakan akan mencapai 95,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia pada tahun 2025. Ini adalah kenaikan signifikan dari 92,3% pada tahun sebelumnya.
Kondisi ini menciptakan tekanan fiskal yang besar bagi banyak negara berkembang, yang sebagian besar bergantung pada utang luar negeri untuk membiayai pembangunan mereka.
Selain itu, ketidakpastian perdagangan global turut memperburuk situasi. Penerapan tarif tinggi oleh Amerika Serikat, yang mencapai 25% untuk kendaraan, baja, dan aluminium, serta 10% untuk sebagian besar barang lainnya, telah menciptakan gejolak di pasar internasional.
IMF memperingatkan bahwa kebijakan tarif ini dapat menyebabkan "guncangan negatif besar" bagi perekonomian global. Dampak dari kebijakan ini akan dirasakan lebih parah di negara-negara berkembang.
Dalam pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia pada April 2025, para pemimpin ekonomi global mengungkapkan keprihatinan mendalam terhadap dampak dari kebijakan perdagangan yang tidak menentu ini. Meskipun ada dorongan untuk memberikan bantuan utang kepada negara-negara termiskin, sedikit kemajuan dicapai dalam hal kebijakan konkret.
Paus Fransiskus sendiri telah menyerukan tahun pembebasan utang untuk negara-negara termiskin, namun respons dari negara-negara kaya terhadap seruan ini masih minim.
Di tengah situasi ini, Bank Dunia menyarankan negara-negara berkembang untuk mempertimbangkan pemangkasan tarif perdagangan secara mandiri sebagai langkah untuk merangsang perekonomian mereka. Namun, langkah ini tidak mudah dilakukan, mengingat banyak negara yang sudah terbebani oleh utang dan menghadapi tekanan fiskal yang besar.
Dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang dipangkas menjadi 2,8% pada tahun 2025, negara-negara berkembang harus menghadapi kenyataan bahwa mereka berada di persimpangan jalan. Tanpa adanya reformasi kebijakan yang signifikan dan kerjasama internasional yang lebih erat, risiko krisis utang dan stagnasi ekonomi akan semakin nyata.
IMF menekankan pentingnya bagi negara-negara untuk menata kembali kebijakan fiskal mereka agar dapat menghadapi tantangan ini dengan lebih baik.
Dalam konteks Indonesia, meskipun stabilitas sistem keuangan tetap terjaga, KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) mengingatkan bahwa ketidakpastian perekonomian global, terutama yang dipicu oleh kebijakan tarif impor AS, dapat mempengaruhi perekonomian domestik.
Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk tetap waspada dan mempersiapkan langkah-langkah strategis guna menghadapi potensi dampak negatif dari ketidakpastian global ini.
Secara keseluruhan, tahun 2025 menandai periode yang penuh tantangan bagi negara-negara berkembang. Dengan lonjakan utang dan ketidakpastian perdagangan global yang meningkat, diperlukan langkah-langkah strategis dan kerjasama internasional yang lebih erat untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.
Editor: 91224 R-ID Elok